Sabtu, 12 Oktober 2013

PENDAPA SI PANJI KAB. BANYUMAS

PENDAPA SI PANJI KAB. BANYUMAS

            Masyarakat Banyumas sangat mengenal Si Panji, Pendapa Kabupaten yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota Purwokerto dan menjadi ‘’ Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Hingga ini Pendapa Si Panji masih dikeramatkan, khususnya pada salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi sesaji agar semua kegiatan yang belangung di pendapa dapat berjalan lancer tanpa ada gangguan.
            Kisah-kisah misteri sering terdengar dari pendapa yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokrto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu.
Kabupataen Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama II yang juga disebut sebagai Bupati Banyumas I dan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas  agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut pendapa yang dikenal dengan Pendapa Si Panji.
            Dalam sejarahnya, pendapa yang legendaries ini sering memunculkan keanehan dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kota Banyumas dilanda banjir banding (Blabur Banyumas)karena meluapnya Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas (atap) Pendapa Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata pendapa ini tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Posisi pendapa juga tidak bergeser sedikitpun padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi lebih dari 3,5 meter.
            Misteri lain, ketika pendapa itu akan dibangun, semua sesepuh dan atokoh masyarakay Banyumas supaya menyumbangkan calon saka guru pendapa maupun bahan bangnan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk diminai keterangannya. Ki Ageng Somawangi menghadap memenuhi pangilan sang Adipati. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru pendapa yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan nkayunyang berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan” (mengambl alih kekuasaan) Sang Adipati.
            Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap “ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan. Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabpaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas, kenudian diberi nama “Panerusan”. Dengan ddemikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontranonran tokoh Banyumas itu.

TRAGEDI SABTU PAHING

TRAGEDI SABTU PAHING

            Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi yang sangat memilukan ini menimpa Adipati Warggohutomo I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi ceremin  betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.
Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang  dikatakan sudah bersuami dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan agar jangan sapai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”. Inilah kisah tragis yang menimpa Adipati Wirasaba sepulang dari Kesultanan Pajang.
Adipati Wargautama beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang  dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang  pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindeta mata hasil kerajinan setempat.
Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak se arah dengan rumah induk yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah merontaronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki Adipati.
Firasat buru juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menungu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru :”Jangan bunuh……”
Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Wargoutomo I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Kerato Pajang. Semuan yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang Prabu junjungannya.
Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan se isi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak bersalah. Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki Adipati Wargohutomo I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
            Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati sebenarnya tidak bersalah.Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.  
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada  keluarga (keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang.
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Wargohutomo I, terutama oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu”(perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai di Wirasaba yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengn duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur)  makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dsun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh putr menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan).
Makam Ki Wargohutomo I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam Ki Adipati Wargohutomo I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif Klampok, Kabupaten Banjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.
Itulah cerita yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, semoga dapat bermanfat bagi para pembacanya, serta dijadikan pelajaran/hikmah dari peristiwa tersebut.

BABAD PASIR LUHUR

“BABAD PASIR LUHUR”

            Kisah ini menceritakan tentang perjuangan Raden Banyak Catra, putra Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Dikisahkan saat itu Raden Banyak Catra  dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja. Namun syarat untuk menjadi raja, Raden Banyak Catra harus memiliki istri terlebih dahulu. Akhirnya Raden Banyak catra pergi mengembara untuk mencari pendamping hidup.
Raden Banyak Catra menyamar sebagai rakyat jelata dan berganti nama menjadi Kamandaka. Kamandaka pergi ke Pasir Luhur, sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Adipati Kandhadhaha. Kedatanannya ke Pasirluhur adalah untuk menemui Dewi Ciptarasa, putri bungsu sang Adipati. Singkat cerita kemudian Kamandaka di angkat sebagai anak oleh Reksanata, Patih Pasir Luhur.
Hasrat Raden Kamandaka untuk melihat wajah Putri Dewi Ciptarasa dapat terkabul ketika Adipati Kandhadhaha mengadakan hiburan dengan mengadakan penangkapan ikan di sungai secara beramai-ramai.
Pertemuan Raden Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa berlanjut dengan jalinan cinta. Suatui ketika Raden Kamandaka mengunjungi Dewi Ciptarasa di Kadipaten Pasirluhur. Namun pertemuan itu dipergoki oleh kakak Ciptarasa. Bagi sang Adipati Kandhadhaha, perbuatan Kamandaka telah mencoreng mukanya karena sebagai seorang rakyat jelata bercengkrama dengan Putri Dewi Ciptarasa. Kemudian Patih dipanggil oleh Adipati Kandhadhaha dan perintahkan untuk membunuh Kamandaka. Sebagai seorang ayah, Patih Reksananta bingung untuk melaksanakan tugas ini.
Raden Kamandaka dikekar-kejar oleh Prajurit Kadipaten, kemudian Raden Kamandaka terjun ke sungai dan bersembunyi dalam gua di sungai itu. Para Prajurit Kadipaten melempari batu ke tempat Raden Kamandaka menceburkan diri. Setela beberapa waktu tidak muncul, mereka mengira Raden Kamandaka telah tewas tenggelam di sungai itu. Apalagi mereka melihat usus  terapung di sungai, mereka mengira usus ayam yang terapung itu adalah ususnya Raden Kamandaka.
Para prajurit kemudian pulang untuk melaporkan kejadian itu kepada Sang Adipati. Sampai sekarang lubuk tempat Raden Kamandaka terjun dikenal dengan anama “Kedhung Petaunan” di sungai logawa, 3 Km sebelah Batrat Kota Purwokerto.
1.  Terhindar dari bahaya.

Raden Kamandaka bersembunyi di sebuah kedung terus menyusup ke gua dan akhirnya sampai di tempuran sungai logawa. Tempat tersebut sampai sekarang disebut “Surup lawang” yaitu pertemuan antara sungai Logawa dengan Sungai Serayu di sebelah selatan Purwokerto.
Dengan menyusuri sungai Logawa, samapailah Raden Kamandaka ke kadipaten Pasirluhur. Selanjutnya ia menumpang dirumas seorang janda yang tidak mempunyai anak yaitu Nyi Kartisara, yang pekerjaannya menjual daun pisang.
Raden Kamandaka memakai nama samaran “si Sulap”. Kegemarannya memelihara ayam jantan untuk di adu. Kemudian tempat tingal Si Sulap terkenal dengan nama “Kurung Ayam”. Ayam jago Si Sulap yang terbaik dinamakan “Mercu”. Sulap mendapatkan seorang kawan bernama Ki Reksajaya, berasal dari Losari, orang yang cacad jasmaninya. Tempat yang terkenal untuk menyabung ayam pada waktu itu adalah Pangebatan.     
            Semetara itu Prabu Siliwangi di Pajajaran merasa gerlisah demi menunggu Raden Kamandaka tidak kunjung pulang. Kemudian beliau memerintahklan putranya Raden Gagak Ngampar, adik Kamandaka, yang sedang bertapa untuk mecari kakaknya Raden Kamandaka.
            Akhirnya Raden Banyak Ngampar pergi meninggalkan Pajajaran dengan memakai nama samaran Raden Silihwarni. Beliau sampai ke daerah Pasirluhur dan langsung menuju Kadipaten Pasirluhur untuk mengabdikan diri. Permohonan itu dikabulkan oleh Sang Adipati dan diangkat menjadi prajurit.
Selang beberapa waktu terdengar kabar bahwa Kamandaka masih hidup dan berada di suatu desa sebagai penyabung ayam. Adipati Kandadaha menjadi murka, akhirnya membuat sayembara untuk membunuh Kamandaka.
             Raden Silihwarni menyatakan sanggup melaksanakan sayembara tersebut.  Raden Silihwarni sama sekali tidak tahu bahwa Kamandaka adalah Raden Banyak Catra, kakak kandungnya sendiri.
            Raden Silihwarni datang ketempat sabung ayam dengan membawa ayam jago yang dikakinya sudah dipasangi Patrem (Keris kecil) pada taji jagonya. Pada saat berhadapan dengan Raden Kamandaka, Raden Silihwarni melemparkan jagonya ke arah Raden Kamandaka. Lambung kiri Kamandaka luka tersabet keris patrem yang berada di kaki jago. Raden Kamandaka marah sekali dan ayam jago yang melukai tadi langsung ditangkap dan dibanting hinga mati.
            Pertengkaran terjadi dan Raden Silihwarni terkena tusukan keris di kkan lambung  hingga pingsan. Pengikut Raden Silihwarni yang bernama Ki Nitipraga tertusuk keris Raden Kamandaka sampai tewas. Kemudian Raden Kamandaka meninggalakan tempat sabung ayam itu dengan diikluti Ki Reksajaya.
            Setelah peristiwa sabung ayam itu Raden Kamandaka dikejar-kejar oleh prajurit Pasirluhur dibawah pimpinan Raden Silihwarni. Raden Kamandaka dapat terkejar oleh Raden Silihwarni dan terjadilah perkelahian sengit antara kedua bersaudara yang masing-masing sudah tidak mengenal lagi. Tempat perkelahian tersebut dinamakan “Pejogol”. Pengejaran terus dilakukan bahkan dibantu oleh prajurit menantu Adipati Mersi. Raden Kamandaka lari ke arah timur menuju kota Purwokerto. Samapai di suatu tempat, Raden Kamandaka jatuh dan terluka. Tempat dimana dia jatuh akhirna dinamakan sungai “Bodas”.
            Perjalanan terus dilakukan. Ketika samapai di sebuah sungai Raden Kamandaka membasuh lukanya, darah keluar dengan derasnya sehingga tempai itu dinamakan sungai “Bancaran” yang kemudian menjadi “Banjaran”. Untuk melihat datangnya musuh, Raden Kamandaka naik ke lereng sungai Banajaran. Tempat ini kemudian dinamakan “Sawangan” (Nyawang ; bahasa Jawa).
            Raden Kamandaka melanjutkan perjalanan ke arah utara, kemudian be istirahat di suatu tempat, yang kemudian dinamakan “Kober” (Semapat : bahasa Jawa). Letak desa tersebut di dekat Stasiun Purwokerto. Kemudian melanjutkan perjalanan menembus hutan belukar hingga sulit diikuti oleh prajurit Pasirluhur. Desa tempat menerobos hutan belukar kemudian dinamakan “Bobosan” (nerobos/menyusup). Dengan kekuatan batin Raden Kamandaka mengetahui bahwa muhnya menggunakan anjing sebagai pelacak, sehingga dia juga melepas anjing untuk menangkap anjing pelacak. Anjing musuh dapat ditangkap dan dikurung di suatu daerah yang  dinamakan “Kurung anjing”, kemudian menjadi Karanganjing. Letaknya disebelah timur Bobosan, sekarang termasuk dalam Kelurahan Purwonerogo.
            Para prajurit berjaga-jaga menantikan suara anjingnya menyalak, namun sampai pagi hari tidak terdengar suara anjing menyalak. Kemudian mereka mengetahui bahwa Raden Kamandaka telah menyeberangi sungi Banjaran menuju barat. Mereka mengejar Raden Kamandaka sampai disuatu daerah , karena kemarahannya seperi banteng ketaton, maka daerah itu dinamakan desa “Kedungbanteng”.
            Di desa Kedunbanteng terdapat batu sebesar rumah yang dikenal dengan nama “Watu sinom”. Raden Kamandaka naik ke atas batu tersebut sambil menantang Raden Silihwarni yang tidak lain adalah Raden Gagak Ngampar, adik kandung Raden Kamandaka sendiri.
            Raden Kamandaka  terkejut begitu melihat Raden Silihwarni  mengeluarkan keris Kyai Mojang Pamungkas yang merupakan pusaka Kerajaan Pajajaran. Saat itu terbongkar bahwa ternyata Raden Silihwarni adalah adik kandung Kamandaka.
            Raden Silihwarni kemudian menceritakan maksud kedatangan ke Pasirluhur adalah atas perintah Ayahanda untuk mencarikan kakaknya yang akan dinobatkan menggantikan Ayahanda bertahta di Pajajaran.
            Kemudian dibuat sekenario, Ki Reksajaya diperintahkan pergi ke Karanganjing untuk membunuh seekor anjing yang dikurung disana guna diambil hati dan darahnya untuk diserahkan ke Adipati Mersi sebagai bukti kematian Kamandaka. Kemudian Raden Kamandaka  dan adiknya pulang ke Pajajaran.
            Berita tewasnya Raden Kamandaka  telah tersiar ke seluruh Kadipaten Pasirluhur. Adipati Pasirluhur merasa puas dan gembira setelah mendengar berita kematian Kamandaka yang disampaikan oleh Adipati Mersi. Namun sebaliknya, Puri Ciptarasa sangat bersedih skaligus ragu mendengar berita itu, karena sudah kedua kalinya Kamandaka diberitakan meninggal dunia.

1.  Tahta Kerajaan
            Tidak lama kemudan Raden Kamandaka alias Banyak Catra dan Raden Silihwarni alisa Gagak Lampar telah sampai di Istana Pajajaran, diikuti oleh Ki Reksajaya. Menjelang peresmian pergantian tahta Kerajaan Pajajaran yang akan diberikan kepada Banyak Blabur (anak istri ke dua), yang menuntut janji Prabu Siliwangi kepada istri keduanya bahwa kelak putranya yang laki akan diberi kedudukan sebagai Putra Makhota.
            Karena harus memilih salah seorang antara Banyak Catra dengan Banyak Blabur, maka Prabu Siliwangi membuat sayembara. Siapa yang dapat menemukan 40 orang putri kembar, maka dialah yang berhak naik tahta. Untuk mencari syarat tersebut, Banyak Blabur pergi kea rah barat ke aerah Banten, sementara Banyak Catra pergi ke arah timur yaitu ke Pasirluhur.
            Banyak Catra diringi oleh 2 orang abdinya yaitu Ki Gede Kolot dan Ki Klantung. Setelah sampai di kaki Gunung Slamet kemudian mendirikan sebuah padepokan yang diberi nama Batur Agung.
            Menurut wahyu yang diterima, Banyak Catra dianjurkan supaya bertapa di sebelah timur Pasiruhur, yaitu di dekat tempuran sungai Logawa dan Sungai Mengaji. Karena ketekunannya bertapa, Banyak cara memperoleh anugerah dari Dewa berua baju ajaib. Jika baju Tersebut dipakai, maka ia akan berubah menjadi seekor Lutung (kera).
            Suatu ketika Raden Kamandaka menemui Dewi Ciptarasa dengan memakai pakaian Lutung. Akhirnya Dewi Ciptarasa tahu bahwa    lutung tersebut adalah si Kamandaka. Lutung itu kemudian dipelihara oleh Dewi Ciptarasa sebagai hewan kesayangan yang sewaktu-waktu bisa berubah wujud menjadi Raden Kamandaka.
            Sementara itu Raden Pulebahas dari dari Nusakambangan berniat  melamar Dewi Ciptarasa. Dewi Ciptarasa bingung menerima lamaran itu. Kamandaka menyarankan agar Dewi Ciptarasa menerima lamaran dari Prabu Pulebahas tersebut dengan dua syarat. Syarat pertama, pada saat pernikahan, Prabu Pulebahas tidak boleh membawa senjata maupun prajurit. Syarat kedua, lutung yang mengiringi Dewi Ciptarasa tidak boleh diganggu. 
Syaratnya diterima Prabu Pulebahas dan pernikahan pun dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Saat kirab pengantin atau pertemuan pengantin, Lutung mendampingi Dewi Ciptarasa.
            Saat Prabu Pulebahas berbasa basi akan menggendong si Lutung, Lutung tersebut menerkam prabu Pulebahas sehingga terjadi perkelahian yang sengit. Akhirnya prabu Pulebahas tewas.
            Adipati Kandhadhaha gusar karena Si Lutung sudah mengganggu perhelatan di Kadipaten Pasirluhur. Namun pada saat itu sang  Lutung berubah wujud menjadi Pangeran Banyak Catra. Maka kagetlah sang adipati Kandhadhaha karena sang Lutung ternyata putra dari Prabu Silihwangi.
            Akhirnya hubungan Dewi Ciptarasa dengan pangeran Banyak Catra direstui oleh Adipati Kandhadhaha hingga keduanya menikah dan hidup berbahagia.

Kali Pelus


Kali Pelus